Minggu, 24 April 2011
BEKANTAN (Nasalis Larvatus)
Bekantan atau dalam nama ilmiahnya Nasalis larvatus adalah sejenis kera berhidung panjang dengan rambut berwarna coklat kemerahan dan merupakan satu dari dua spesies dalam genus tunggal kera Nasalis.
Ciri-ciri utama yang membedakan bekantan dari kera lainnya adalah hidung panjang dan besar yang hanya ditemukan di spesies jantan. Fungsi dari hidung besar pada bekantan jantan masih tidak jelas, namun ini mungkin disebabkan oleh seleksi alam. Kera betina lebih memilih jantan dengan hidung besar sebagai pasangannya. Karena hidungnya inilah, bekantan dikenal juga sebagai monyet Belanda. Dalam bahasa Brunei (kxd) disebut bangkatan.
Bekantan jantan berukuran lebih besar dari betina. Ukurannya dapat mencapai 75cm dengan berat mencapai 24kg. Kera betina berukuran 60cm dengan berat 12kg. Spesies ini juga memiliki perut yang besar, sebagai hasil dari kebiasaan mengkonsumsi makanannya. Selain buah-buahan dan biji-bijian, bekantan memakan aneka daun-daunan, yang menghasilkan banyak gas pada waktu dicerna. Ini mengakibatkan efek samping yang membuat perut bekantan jadi membuncit.
Bekantan tersebar dan endemik di hutan bakau, rawa dan hutan pantai di pulau Kalimantan. Spesies ini menghabiskan sebagian waktunya di atas pohon dan hidup dalam kelompok-kelompok yang berjumlah antara 10 sampai 32 kera. Bekantan juga dapat berenang dengan baik, kadang-kadang terlihat berenang dari satu pulau ke pulau lain.
Bekantan merupakan maskot fauna provinsi Kalimantan Selatan.
Berdasarkan dari hilangnya habitat hutan dan penangkapan liar yang terus berlanjut, serta sangat terbatasnya daerah dan populasi habitatnya, bekantan dievaluasikan sebagai Terancam Punah di dalam IUCN Red List. Spesies ini didaftarkan dalam CITES Appendix I.
Bekantan (Nasalis larvatus) dikenal juga dengan sebutan kera Belanda, bekara, raseng, pika, dan bentangan. Bagian wajah bekantan berwarna merah kecoklatan dan tidak berbulu, sedangkan pada bayi wajah berwarna biru tua (Napier dan Napier, 1967). Kera jantan berhidung besar ini diberi nama setempat bekantan atau Kera Belanda karena mirip dengan Orang Belanda yang terbakar sinar matahari (MacKinnon, 1986).
Bekantan tersebar secara terbatas di Pulau Kalimantan dan beberapa pulau dekat pantai, khususnya yang terdapat di muara S. Brunei dan P. Sebatik di perbatasan Sabah/Kalimantan Timur. Biasanya ditemukan di dekat sungai-sungai besar. Di sungai-sungai Sabah bagian timur yang lebih besar terdapat jauh di hlu sungai (misalnya, di atas S. Danum di hulu S. Segama). Ada laporan-laporan lama dari hulu S. Kapuas di Kalimantan Barat, di Tumbang Maruwe di S. Barito di Kalimantan Tengah dan di S. Mahakam dan S. Kayan di Kalimantan Timur. Keadaan saat ini di pedalaman P. Kalimantan tidak menentu, tetapi jenis ini ada di beberapa bagian pesisir Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, khususnya hilir S. Barito. Distribusi di Sabah bagian barat, Brunei dan Serawak jarang dan tersebar, mungkin mencerminkan distribusi habitat dan tekanan perburuan. Di Brunei melimpah secara lokal di muara S. Brunei tetapi tidak ada catatan dari S. Temburong ke arah timur.
Bekantan adalah satwa yang dilindungi semenjak jaman kolonial Belanda yaitu pada tahun 1931 melalui Dierenbeschermings Ordonantie (UU Perlindungan Binatang Liar: Staatblad th. 1931 No. 134) dan Dierenbeschermings Verordening (Peraturan Perlindungan Binatang Liar th. 1931 dan th. 1935) sampai kepada Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 301/Kpts-II/1991 dan UU No. 5 th. 1990. Satwa ini juga dilindungi berdasarkan UU Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam No. 5 th. 1990 serta Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 301/Kpts-II/1991.
Sejak tahun 1978 secara internasional bekantan mulai masuk dalam daftar RDB (Red Data Book, yang berisikan daftar tentang species yang terancam punah di seluruh dunia) yang dikeluarkan IUCN (World Conservation Union) dengan status vulnerable (beresiko tinggi terancam punah dalam waktu tidak terlalu lama lagi). Pada tahun 1996, dengan sistem penentuan kriteria yang baru, IUCN tetap memasukan bekantan ke dalam kategori vulnerable dan ditambahi dengan keterangan A2c (A = Populasi menurun sekurang-kurangnya 20% dalam waktu 10 tahun atau 3 generasi; 2c = Penurunan populasi pada masa datang diduga berdasarkan pada penyusutan daerah sebaran, dan/atau kualitas habitatnya). Selain itu CITES, yaitu sebuah konvensi internasional tentang perdagangan spesies flora dan fauna yang terancam punah, sejak tahun 1973 memasukan bekantan kedalam Appendix I (= tidak boleh diperdagangkan secara internasional). Wolfheim (1983) didalam analisisnya mengkategorikan bekantan sebagai satwa yang memiliki tingkat keterancaman tertinggi untuk satwa, kategori ini mendudukan bekantan setara dengan Orangutan (Pongo pygmaeus).
Pada tahun 1977 diperkirakan bahwa bekantan liar yang berada di Serawak tinggal 6.400 ekor saja. Dan diperkirakan sekarang hanya tinggal 1.000 ekor saja. Tersisa sekitar 2.000 ekor di Sabah dan 4.000 ekor di Kalimantan (Anonim, 2004). Pada tahun 1987, MacKinnon menduga populasi bekantan di Indonesia pada saat itu berjumlah 260.950 ekor, dengan kepadatan 25 ekor per km2, serta populasi yang berada di kawasan konservasi diduga 25.625 ekor.
Sebagian besar habitat Bekantan berada di wilayah-wilayah lahan basah, terutama mangrove, yang diantaranya adalah Delta Mahakam, Pesisir Tarakan dan Cagar Alam Teluk Adang-Teluk Apar. Kondisi-kondisi habitat yang semakin memprihatinkan saat ini telah menjadikan populasi Bekantan semakin berkurang di alam.
Salah satu ciri khas satwa jenis kera yang umum kita ketahui adalah bahwa kera berhidung pesek, tetapi ternyata ada juga Jenis kera yang berhidung mancung, Bekantan namanya, merupakan satwa endemik Pulau Kalimantan (Indonesia, Brunei, dan Malaysia).
Bekantan (Nasalis larvatus), dalam bahasa inggris disebut Long-Nosed Monkey atau Proboscis Monkey, di Kalimantan dikenal dengan nama Kera Belanda, Pika, Bahara Bentangan, Raseng dan Kahau. merupakan sejenis kera yang mempunyai ciri khas hidung yang panjang dan besar, Seperti primata lainnya, hampir seluruh bagian tubuhnya ditutupi oleh rambut (bulu), kepala, leher, punggung dan bahunya berwarna coklat kekuning-kuningan sampai coklat kemerah-merahan, kadang-kadang coklat tua. Dada, perut dan ekor berwarna putih abu-abu dan putih kekuning-kuningan.
Perbedaan antara jantan dan betina
Jantan: Rambut pipi bagian belakang berwarna kemerah-merahan, bentuk hidung lebih mancung
Betina: Rambut pipi bagian belakang berwarna kekuning-kuningan, bentuk hidung lebih kecil
Masa kehamilan 166 hari atau 5-6 bulan dan hanya melahirkan 1 (satu) ekor anak. Setelah berumur 4-5 tahun sudah dianggap dewasa. Bekantan hidup berkelompok/sub kelompok. Masing-masing kelompok dipimpin oleh seekor Bekantan jantan yang besar dan kuat. Biasanya dalam satu kelompok berjumlah sekitar 10 sampai 20 ekor.
Bekantan aktif pada siang hari dan umumnya dimulai pagi hari untuk mencari makanan berupa daun-daunan dari pohon rambai/pedada (Sonneratia alba), ketiau (Genus motleyana), beringin (Ficus sp), lenggadai (Braguiera parviflora), piai (Acrostiolum aureum), dan lain-laian.
Pada siang hari Bekantan menyenangi tempat yang agak gelap/teduh untuk beristirahat. Menjelang sore hari, kembali ke pinggiran sungai untuk makan dan memilih tempat tidur. Bekantan pandai berenang menyeberangi sungai dan menyelam di bawah permukaan air.
Klasifikasi ilmiah.
Kerajaan: Animalia;
Filum: Chordata;
Kelas: Mammalia;
Ordo: Primata;
Famili: Cercopithecidae;
Upafamili: Colobinae;
Genus: Nasalis;
Spesies: Nasalis larvatus
PERINGATAN
Bekantan merupakan satwa dilindungi, sebagaimana tertuang dalam Lampiran PP No. 7 Tahun 1999, dan ada kententuan dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 bahwa:
Barangsiapa dengan Sengaja menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; (Pasal 21 ayat (2) huruf a), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
Barang Siapa Dengan Sengaja menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati (Pasal 21 ayat (2) huruf b), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
Dengan Sengaja memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; (Pasal 21 ayat (2) huruf d), diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). (Pasal 40 ayat (2));
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar